Oleh: Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H.
Kita menyaksikan bahwa pluralitas agama menjadi kenyataan sosiologis yang tidak dapat disangkal di negeri yang menjunjung tinggi asas “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “Persatuan Indonesia”. Namun, realitas ini sering diuji ketika kehadiran minoritas beririsan dengan ruang hidup mayoritas, seperti ketika sekolah Kristen dibangun di kawasan yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak konstitusional warga negara untuk mendirikan institusi pendidikan berbasis agama, apapun agamanya. Di samping itu, peraturan teknis seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 telah mengatur bagaimana rumah ibadah dan lembaga keagamaan lainnya didirikan.
Namun, legalitas administratif bukanlah masalahnya. Meskipun seluruh izin telah diberikan, masyarakat sekitar di banyak tempat masih menolak kehadiran sekolah. Alasan yang dikemukakan beragam, termasuk kekhawatiran tentang misi tersembunyi, perubahan demografi, dan trauma kolektif sebagai akibat dari masalah lama yang tidak pernah diselesaikan.
Situasi ini menunjukkan perbedaan yang luas antara legitimasi dan legalitas dua entitas yang sering dianggap sama, tetapi sebenarnya bekerja satu sama lain. Legalitas diucapkan melalui bahasa hukum positif, sedangkan legitimasi diucapkan melalui bahasa hati dan akal sehat sosial.
Legalitas: Berdiri di Atas Hukum
Secara umum, pembangunan sekolah, termasuk sekolah berbasis agama, dapat dilakukan sejauh memenuhi persyaratan legal berikut: lahan yang sah, izin dari pemerintah daerah, rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan persetujuan warga sekitar sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Semuanya terlihat sempurna di kertas. Namun, seringkali prosedur tersebut dilakukan tanpa proses partisipasi yang menyeluruh. Pendekatan kultural diabaikan, sosialisasi minim, dan dialog antarwarga diabaikan. Tidak mengherankan jika kemudian terjadi penolakan, demonstrasi, atau bahkan konflik terbuka. Sah tapi tidak diterima.
Legitimasi: Suara Publik yang Tak Bisa Dihindari
Rasa legitimasi bukan prosedur. Kepercayaan, pengakuan, dan penerimaan sosial adalah sumbernya. Sekolah dapat dibangun secara sah, tetapi masyarakat akan menentangnya jika mereka merasa bahwa keberadaannya akan mengancam prinsip, agama, atau keharmonisan komunitas yang telah lama dibangun.
Namun, masalah menjadi lebih aneh ketika institusi keagamaan minoritas dipersoalkan di tengah masyarakat mayoritas. Kita harus waspada jika penolakan terjadi hanya karena prasangka dan ketakutan yang tidak beralasan.
Legitimasi yang sebenarnya tidak boleh berasal dari dominasi mayoritas; sebaliknya, itu harus berasal dari diskusi dan pemahaman yang tulus satu sama lain. Tanpa itu, kebijakan publik, termasuk yang legal, akan dianggap sebagai pemaksaan kehendak.
Negara Harus Hadir Sebagai Penengah
Pemerintah tidak boleh tunduk pada tekanan massa yang tidak rasional dalam konteks negara hukum demokratis. Pembangunan sekolah Kristen harus dilanjutkan jika semua persyaratan telah dipenuhi. Sebaliknya, negara tidak boleh mengabaikan perubahan sosial yang terjadi di lapangan.
Negara, dalam hal ini pemerintah daerah, harus hadir sebagai fasilitator dialog dan mediasi sosial. Pendekatan hukum prosedural harus dilengkapi dengan pendekatan komunikasi sosial. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) harus diberdayakan tidak sekadar sebagai pemberi rekomendasi teknis, tetapi menjadi wadah pemersatu, penyambung komunikasi antara komunitas berbeda iman.
Keadilan: Antara Formil dan Substantif
Selain itu, debat tentang legalitas dan legitimasi ini memicu pembicaraan tentang dua jenis keadilan: keadilan formil (berdasarkan kepatuhan terhadap hukum) dan keadilan substantif (berdasarkan dampak yang sebenarnya terhadap masyarakat).
Pemerintah sering kali merasa sudah adil karena semua proses sudah selesai. Namun, jika masyarakat tidak terlibat, tidak diberi kesempatan untuk berbicara, atau tidak mendapat kesempatan untuk memahami latar belakang kebijakan tersebut, mereka mungkin merasa dizalimi.
Di sinilah pendekatan restoratif dan inklusif sangat penting bukan hanya “melibatkan”, tetapi juga aktif mendengarkan, memahami kekhawatiran masyarakat, dan memberikan penjelasan yang jelas.
Pluralisme dan Pendidikan: Membangun Generasi yang Lapang
Membangun masyarakat plural memerlukan keberanian untuk menerima perbedaan. Pendidikan harus menjadi pusat pengembangan toleransi, penghormatan terhadap keberagaman, dan penghargaan atas hak setiap warga negara.
Membangun sekolah Kristen di masyarakat Muslim bukan sekadar pembangunan fasilitas; itu merupakan bukti kepercayaan terhadap konstitusi dan komitmen terhadap pluralisme. Kita akan melanggar prinsip Bhinneka Tunggal Ika jika ruang pendidikan ini ditolak hanya karena perbedaan agama.
Penutup:
Menciptakan Jembatan, Bukan Tembok
Legitimasi sosial sama pentingnya dengan legalitas. Negara harus membuat kebijakan yang adil dan bermanfaat bagi masyarakat. Apakah mayoritas dapat memaksakan kehendaknya bukanlah masalahnya. Yang penting adalah apakah kita semua, baik minoritas maupun mayoritas, bersedia hidup bersama dalam semangat keadilan dan saling menghormati.
Menolak pembangunan sekolah berdasarkan perbedaan agama ketika semua proses hukum telah selesai, akan merusak hubungan nasional dan negara hukum itu sendiri.
Legalitas tanpa legitimasi akan rapuh, dan legitimasi tanpa legalitas bisa menyebabkan chaos. Sudah saatnya kita menyadari hal ini. Agar supremasi hukum dan harmoni sosial dapat berjalan bersama, Indonesia membutuhkan keduanya.
Tentang Penulis:
Dr. Muhammad Iqbal, S.H., M.Psi., M.H., adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar bagian hukum dan masyarakat. Ia melihat hukum sebagai refleksi dari dinamika moral, sosial, dan spiritual manusia, bukan hanya teks hukum formal.
Fokus studinya adalah bagaimana hukum, keadilan sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan berinteraksi dalam masyarakat yang beragam. Iqbal percaya bahwa hukum yang kuat adalah cara untuk mempengaruhi perasaan orang, mempertahankan keberagaman, dan mendukung kemaslahatan bersama.
Pembaca diharapkan untuk menjadi lebih kritis, jelas, dan adil setelah membaca tulisan ini.
3 Komentar
Haraççı su kaçak tespiti Suadiye su kaçağı tespiti: Suadiye’de su kaçağı sorunlarına son veren çözümler. https://netglu.com/read-blog/11921
su kaçak arıza tespiti İstanbul Su kaçağı sorunumu kırmadan hallettikleri için çok memnunum. https://www.finlandmlbforum.com/read-blog/19158
Koşuyolu su kaçak tespiti Binamızdaki su kaçağını tespit etmek için kullandıkları teknoloji son derece gelişmişti. Sorunu kısa sürede çözdüler. Cengiz V. https://community.gantner.id/read-blog/8828