Oleh:Muh Ikbal (Jaringan Oposisi Loyal)
Kita hampir kehilangan kosakata untuk melukiskan moral Bangsa Indonesia yang semakin memburuk dari hari ke hari. Begitu kata Ahmad Syafii Maarif, sebuah kalimat getir yang layak dijadikan pintu masuk pada peringatan 17 Agustus 2025. Delapan puluh tahun lalu, Bangsa Indonesia memang memproklamasikan diri merdeka secara formal, de jure, dari cengkeraman kolonialisme. Bung Karno, Bapak Revolusi Besar Bangsa Indonesia, dengan suara parau dan tegas, membacakan naskah Proklamasi yang diguratkan di rumah Laksamana Maeda, Jalan Meiji Dori, Jakarta. Mohammad Hatta mendampingi, dan rakyat bersorak menyambut.
Di ruangan yang kini menjadi bagian dari jejak sejarah itu, Bung Karno menuliskan naskah proklamasi di atas selembar kertas yang kemudian dikenal sebagai Proklamasi Klad. Teks itu adalah pernyataan tegas bahwa Bangsa Indonesia, delapan puluh tahun yang lalu, telah merdeka dari segala bentuk penjajahan kolonialisme, feodalisme, kapitalisme, dan Borjuis. Kemerdekaan yang lahir dari perlawanan kolektif rakyat, yang Bung Karno tegaskan kepada dunia, bukanlah semata-mata upacara simbolik, melainkan pernyataan revolusioner.
Teks Proklamasi berbunyi:
PROKLAMASI
Kami, Bangsa Indonesia, dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 bulan 8 tahun ’05
Atas nama Bangsa Indonesia,
Soekarno/Hatta.
Kemudian teks itu diketik ulang oleh Sayuti Melik.
Delapan puluh tahun sudah Bangsa Indonesia merdeka. Namun, pertanyaan menggantung: benarkah kemerdekaan itu substansial? Pengibaran bendera Merah Putih selanjutnya diwajibkan kepada warganegara sebagai sikap nasionalisasinya, diatur dalam bentuk kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 dan selanjutnya menjadi Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Selain perintah nasionalisasi dari aspek normatif, warganegara mengekspresikan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan dengan ragam perayaan—mulai dari lomba panjat pinang, balap karung, tarik tambang hingga estetika militer yang dilembagakan lewat lomba gerak jalan.
Namun estetika militeristik yang dimaknai sebagai “disiplin nasional” justru menjadi ideologi penundukan. Aparatus negara menyalurkan logika kekuasaan bahwa warga negara hanya sah sebagai bagian dari barisan yang seragam, teratur, dan tunduk. Di situlah lomba gerak jalan, yang seolah-olah sekadar hiburan, berubah menjadi instrumen ideologis. Estetika militer dipakai untuk mendisiplinkan tubuh warga, menolak perbedaan, dan mengukuhkan narasi nasionalisme yang seragam.
Di Parepare, tanggal 15 Agustus 2025, lomba gerak jalan yang setiap tahunnya dilaksanakan meriah justru menjadi ruang diskriminatif. Aparatus negara, dengan wajah estetika militer yang kaku, menggunakan kewenangan untuk menyingkirkan mereka yang dianggap tidak normal oleh kaca mata kekuasaan. Tim PPJP (Pegiat Pekerja Jasa Parepare) yang mayoritas anggotanya adalah waria, atau dalam istilah lain ragam gender, hendak ikut serta. Sebelumnya, tim ini menggunakan nama IWARPA (Ikatan Waria Parepare). Namun karena larangan walikota, mereka dipaksa mengganti identitas kelompok agar tidak menggunakan istilah waria. Mereka menerima aturan itu, bernegosiasi, bahkan bersedia menunggu dua hari untuk kepastian. Mereka menanggalkan pekerjaan sehari-hari demi latihan, demi ikut serta di lomba gerak jalan, demi merayakan kemerdekaan yang katanya milik semua warganegara.
Namun, setelah menunggu, jawaban yang mereka terima hanyalah penolakan. Kuota disebut sudah habis. Sebuah alasan administratif yang jelas-jelas absurd, sebab yang hendak ditolak bukanlah formulir, melainkan tubuh-tubuh yang menuntut hak setara di ruang publik. Karena sudah siap dan enggan mundur, tim PPJP memilih berjalan di barisan paling belakang dari total 63 tim yang ada, sekadar menghibur masyarakat, sekadar menunjukkan bahwa mereka pun manusia merdeka.
Ocha, salah satu anggota tim PPJP, menceritakan bagaimana mereka hanya ingin ikut meramaikan perayaan. Tidak ada niat melanggar aturan, tidak ada hasrat membuat keributan. Mereka bukan kriminal, bukan bandar narkoba, bukan pelaku korupsi. Mereka hanya warga Parepare, membayar pajak, yang memiliki hak sama untuk mengekspresikan diri. Namun, di malam itu, aparatus negara—Satpol PP dan Polisi membubarkan barisan mereka. Alasannya merusak semangat kemerdekaan.
Ironis. Kemerdekaan yang dibiayai dari pajak rakyat justru dipakai untuk menindas rakyat sendiri. Pemerintah kota Parepare, dengan alibi kota santri, menolak keberagaman gender. Aturan-aturan kaku dibungkus dengan dalih norma dan agama, tanpa pernah ada konsensus sosial yang nyata. Feodalisme agama, sebagaimana dikatakan Kunto Wijoyo, menampakkan wajahnya di sana. Kekuasaan berjubah kesucian, menyingkirkan yang berbeda, menindas yang dianggap menyimpang.
Dalam logika marjinal, praktik itu bukan sekadar salah urus kebijakan. Feodalisasi sistem sosial adalah wajah asli dari sistem kekuasaan, walikota sebagai representasi penguasa lokal, penyelenggara kegiatan sebagai perpanjangan tangan birokrasi, dan aparatus negara sebagai alat represif yang mengamankan kepentingan kekuasaan. Semuanya terikat dalam satu jaringan ideologi yang menyamakan kemerdekaan dengan keseragaman, menyingkirkan pluralitas, dan menganggap tubuh-tubuh berbeda sebagai ancaman.
Peristiwa ini membuktikan bahwa kemerdekaan di Parepare hanyalah seremoni kosong. Negara yang mendaku diri sebagai demokratis, dengan UUD 1945 Pasal 28E yang menjamin kebebasan berekspresi dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, ternyata gagal melindungi kelompok rentan. Hak-hak minoritas ditindas, seolah-olah kemerdekaan hanya milik mereka yang serupa, tunduk pada norma mayoritas, dan patuh pada narasi kekuasaan.
Delapan puluh tahun Bangsa Indonesia merdeka, tetapi wajah kemerdekaan di Parepare tetap menyisakan luka. Pertanyaan pun menggema untuk apa perayaan kemerdekaan itu? Apakah kemerdekaan hanya milik kekuasaan? Apakah kemerdekaan hanya milik kota yang mendaku diri suci? Jika demikian, kemerdekaan itu tak lebih dari feodalisme yang berwajah baru, feodalisme yang kini bersandar pada aparatus negara.
Ali Syariati pernah menulis: “Tuhan ada dalam dua wajah: Tuhan yang disembah untuk mengadili para penindas dan Tuhan yang membela orang-orang tertindas. Saya menyembah Tuhan yang membela orang-orang tertindas.” Kalimat itu menegaskan posisi kemerdekaan sejati adalah keberpihakan pada mereka yang tertindas. Maka sikap kritis dan agitasi warganegara bukanlah sekadar hak, melainkan kewajiban moral-politik. Sebab tanpa kritik dan perlawanan, kemerdekaan hanya akan jadi mitos kosong yang dirayakan dengan lomba-lomba seremonial, sementara tubuh-tubuh berbeda terus diusir dari barisan sejarah.
Kemerdekaan hanya dapat hidup jika rakyat berani melawan. Lawan walikota yang menutup pintu demokrasi dengan alasan moral semu. Lawan penyelenggara kegiatan yang menjadikan aturan sebagai senjata diskriminasi. Lawan aparatus negara yang menukar seragam dengan otoritas untuk menindas. Dan lawan estetika militeristik yang menjadikan tubuh warga sekadar barisan patuh tanpa ruang untuk perbedaan. Keberpihakan mutlak harus ditujukan kepada kelompok rentan yang terus didiskriminasi. Sebab kemerdekaan sejati hanya mungkin jika berpihak pada mereka yang ditindas, bukan mereka yang menindas.
Merdeka berarti berani membebaskan yang lemah, bukan sekadar mengulang-ulang seremoni kosong. Jika tidak, delapan puluh tahun Proklamasi hanya tinggal angka, sementara Bangsa Indonesia masih terjajah oleh sistem sosial yang menolak perbedaan.
Sebagaimana Bung Karno menegaskan “Revolusi belum selesai selama masih ada tangisan rakyat.” Maka tugas sejarah kita adalah melanjutkan revolusi itu dengan keberanian, kritik, dan perlawanan hingga kemerdekaan benar-benar milik semua rakyat, termasuk mereka yang selama ini dimarginalkan.
12 Komentar
Basilica Cistern tour Excellent English and clear explanations. https://fanoosalinarah.com/?p=177647
Your blog is a testament to your dedication to your craft. Your commitment to excellence is evident in every aspect of your writing. Thank you for being such a positive influence in the online community.
Beyoğlu walking tour Comfortable bus and on-time departures. https://cielosports.net/?p=73422
Bosphorus bridge tour The guide was very approachable and helpful. http://warsawdispatch.com/?p=1370
Kadıköy food tour Felt well looked after the whole day. https://cielosports.net/?p=73422
Istanbul Archaeology Museums tour Really appreciated the guide’s local tips. http://www.ahc-international.at/wordpress/?p=3983
Wonderful beat I wish to apprentice while you amend your web site how could i subscribe for a blog web site The account aided me a acceptable deal I had been a little bit acquainted of this your broadcast provided bright clear idea
Istanbul food guide Very interactive and engaging experience. http://farmaciagiannoni.it/web/?p=5290
Its like you read my mind You appear to know so much about this like you wrote the book in it or something I think that you can do with a few pics to drive the message home a little bit but other than that this is fantastic blog A great read Ill certainly be back
Your blog is a breath of fresh air in the often stagnant world of online content. Your thoughtful analysis and insightful commentary never fail to leave a lasting impression. Thank you for sharing your wisdom with us.
Grand Bazaar tour Safe and comfortable tour environment. https://organik-zeytinyagi.com/?p=13629
Your writing is a true testament to your expertise and dedication to your craft. I’m continually impressed by the depth of your knowledge and the clarity of your explanations. Keep up the phenomenal work!