oleh : Muh Iqbal
Parepare tidak pernah benar-benar tenang. Kota kecil di tepian laut ini selalu punya caranya sendiri untuk hidup lebih ramai dari ukurannya. Kali ini bukan festival kuliner atau pesta rakyat yang bikin riuh, melainkan pertarungan politik pemuda di Musyawarah Daerah DPD KNPI Kota Parepare. Riuhnya merambat ke warung kopi, lorong kampus, sampai obrolan tengah malam di pelataran pelabuhan.
Yang menarik, pertarungan ini tidak melulu tentang visi, misi, atau gagasan soal masa depan kota. Riuh ini lebih menyerupai sandiwara yang dipentaskan di panggung kota kecil ada sosok protagonis yang mengusung semangat perubahan, antagonis yang disebut-sebut sebagai pemain lama, figuran yang hanya muncul saat sorak ramai, dan tentu saja sutradara tak terlihat yang mengatur alur di balik layar.
Musda yang seharusnya jadi arena pertarungan ide, kini seperti drama panjang dengan episode tidak berkesudahan. Adegan yang dimainkan kadang mengundang tawa, kadang membuat geleng kepala. Dialog yang paling sering diulang bukan soal program kerja, melainkan soal rekomendasi DPK surat sakti yang tiba-tiba berubah menjadi tiket emas menuju kursi ketua.
Rekomendasi DPK yang semestinya menjadi penegasan dukungan ideologis dari organisasi pemuda justru lebih sering diperlakukan seperti properti panggung bisa ditukar, bisa ditahan, bahkan bisa dipamerkan seperti medali kemenangan sebelum pertarungan dimulai. Sorak-sorai penonton semakin ramai setiap kali ada kabar rekomendasi berpindah tangan, seolah babak klimaks drama baru saja dimulai.
Di balik riuh itu, kota kecil ini menyimpan ketimpangan yang sering dilupakan. Angka inflasi di Parepare mencatatkan rekor tertinggi di Sulawesi Selatan sepanjang 2025, mencapai 4,46 persen pada Agustus. Harga beras, ikan, dan minyak goreng melambung, membuat dapur keluarga kecil semakin sepi asap.
Tingkat pengangguran terbuka memang turun jadi 5,23 persen, tapi ribuan anak muda masih menjadi penonton di panggung ekonomi terutama lulusan SMK yang ironisnya justru paling sulit mendapatkan pekerjaan. Sementara itu, 5,34 persen penduduk atau sekitar 7.980 jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.
Yang lebih getir, ada 142 penyandang disabilitas yang tidak bersekolah 42 di antaranya adalah anak-anak. Mereka yang seharusnya belajar membaca, berhitung, dan bermain di sekolah, malah tercecer di pinggir kota, seolah tidak termasuk dalam naskah pembangunan.
Ketimpangan lain juga terlihat dari distribusi lapangan kerja 78,44 persen tenaga kerja terserap di sektor jasa, sedangkan pertanian yang dulu jadi nadi ekonomi kota kini tinggal 5,49 persen. Ketika sektor jasa goyah karena harga naik atau daya beli turun, kota ini ikut terhuyung.
Melihat semua angka itu, riuh pertarungan politik pemuda KNPI jadi terasa agak naif. Sementara panggung sandiwara sibuk dengan adegan perebutan kursi dan rekomendasi DPK, suara pedagang sayur di pasar senggol dan orang tua anak difabel yang ingin sekolah tidak terdengar di meja Steering Commite.
Parepare adalah kota kecil yang riuh oleh pertarungan politik pemuda. Riuh yang lucu seperti menonton teater rakyat di alun-alun, penontonnya terhibur sesaat, tetapi begitu tirai ditutup, masalah nyata tetap menunggu di luar panggung.
Kota ini tidak kekurangan sorak-sorai, tapi kekurangan keberpihakan. Pemuda KNPI yang kini memenuhi panggung Musda seharusnya mengingat bahwa kota ini tidak hanya dihuni oleh mereka yang pandai berpidato atau bernegosiasi di balik layar, tapi juga oleh ribuan orang yang terjebak dalam kemiskinan struktural, anak-anak yang putus sekolah, dan difabel yang menunggu haknya diakui.
Rekomendasi DPK seharusnya menjadi jembatan untuk mengangkat suara mereka yang tidak terwakili di meja perundingan. Jika pemuda Parepare ingin benar-benar disebut pemimpin masa depan, mereka harus berani mengubah sandiwara ini menjadi pertarungan gagasan yang berpihak pada yang lemah.
Karena Parepare, kota kecil yang enggan tertidur ini, tidak butuh lebih banyak drama. Namun butuh keberanian untuk mengurai ketimpangan agar riuh yang kita dengar hari ini tidak hanya berhenti di sorak riah Musda, tetapi menjadi awal bagi cerita kota yang lebih adil bagi semua.