Oleh: Andi Muzakkir Aqil, SH. MH.
Ketua IKA UMI Jabodetabek
Anggota DPR RI Fraksi Demokrat dan Alumni UMI
Waktu tak pernah lelah melaju. Generasi datang dan pergi, namun Universitas Muslim Indonesia (UMI) tetap setia di garis depan, menjaga bara ilmu dan nilai di tengah derasnya arus perubahan zaman. Di tanah Makassar, UMI tak hanya menjadi institusi pendidikan, tapi juga mercusuar peradaban—menjadi rumah besar bagi lahirnya insan-insan unggul yang berakar pada ilmu dan berbuah pada akhlak.
Hari ini, 23 Juni 2025, kita merayakan Milad ke-71 UMI. Usia yang bukan sekadar angka, tetapi cermin dari ketekunan panjang sebuah institusi dalam mengabdi, menempa, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam denyut nadi bangsa. Terpaut hanya sembilan tahun dari usia republik ini, UMI tumbuh bersama Indonesia, bahkan turut membentuk wajahnya.
UMI adalah rahim yang melahirkan pemimpin. Di aula, laboratorium, dan ruang-ruang diskusi kampus ini, ide-ide besar pernah tumbuh. Di sana, keberanian berpikir dan keberanian bertindak pernah dibentuk. Tak heran jika UMI hari ini berdiri gagah, masuk jajaran top 100 universitas Islam dunia versi UNIrank, dan bertengger di posisi 59 dari 1.961 perguruan tinggi nasional versi Webometrics. Ini bukan hanya soal angka, tapi tentang kredibilitas, konsistensi, dan komitmen panjang terhadap mutu.
Namun, tantangan masa depan tidak kalah kompleks. Di tengah ancaman degradasi moral akademik—seperti maraknya isu ijazah palsu yang bahkan menyeret nama pejabat terpilih hasil Pilkada—UMI harus tetap tegak sebagai penjaga marwah keilmuan. Dunia perguruan tinggi dituntut menjaga idealisme, namun di saat yang sama ditantang menyesuaikan diri dengan revolusi industri, kecerdasan buatan, dan transformasi digital yang terus berubah.
UMI tidak boleh hanya menjadi penonton perubahan. Ia harus menjadi pemain utama. Maka “Kolaborasi untuk Pencapaian Regeneratif,” tema milad tahun ini, sangat relevan. Kolaborasi adalah kekuatan kita. Regenerasi adalah napas kita. Tanpa keduanya, cita-cita hanya akan jadi narasi kosong.
Bangga rasanya melihat langkah konkret UMI menunggangi gelombang perubahan itu. Bukan dengan bertahan, tetapi dengan menyerang. Contohnya? Ketika 11 mahasiswa FIKOM UMI menembus panggung dunia dalam International Conference on Ubiquitous Information Management and Communication (IMCOM) di Bangkok—dan berhasil mempublikasikan 12 artikel ilmiah di prosiding IEEE terindeks Scopus—itu bukan prestasi biasa. Itu adalah bukti bahwa mahasiswa UMI tidak sekadar belajar, tapi berkontribusi pada ilmu global. Mereka memilih untuk menunggangi ombak, bukan menghindarinya.
Begitu pula capaian UMI dalam bidang pengabdian masyarakat yang meraih pendanaan tertinggi di LLDIKTI Wilayah IX, dengan 34 judul program. Ini menjadi indikator bahwa perguruan tinggi ini tak hanya menara gading, tapi juga mata air yang mengalirkan manfaat ke masyarakat.
Sebagai alumni, kita patut bersyukur. Tapi rasa syukur saja tak cukup. Apresiasi bukan hanya pujian atau kenangan nostalgia. Apresiasi sejati adalah aksi nyata. Maka, mari kita jadikan momentum Milad ini sebagai saat yang tepat menyusun peta jalan alumni untuk turut menopang UMI. Baik melalui kontribusi intelektual, jejaring profesional, hingga kolaborasi program yang menyasar akar masalah masyarakat.
UMI adalah rumah kedua kita. Di sana kita ditempa, di sana kita tumbuh. Dan sekarang, ketika kita telah menuai keberhasilan di luar sana, sudah semestinya kita kembali, menyiram pohon tempat kita pernah berteduh. Karena rumah yang tidak dirawat oleh penghuninya, cepat atau lambat akan lapuk dimakan waktu.
Selamat Milad ke-71 UMI.
Teruslah menjadi cahaya di tengah gulita, jangkar di tengah badai, dan pelita bagi generasi. Mari terus menjaga api perjuangan, dan bersama menunggangi gelombang zaman—agar UMI tidak hanya besar dalam sejarah, tapi juga megah dalam masa depan.